Friday, October 23, 2009

Manajemen Pikiran (3)

Tsunami di Gaza

Kalau dalam tulisan Manajemen Pikiran 2 fokus diarahkan pada segi kebaikan dan kemurahan alam, tulisan yang sekarang itu dipusatkan pada segi lainnya yang bertolakbelakang, yakni segi keburukan dan kekerasan alam. Saya ragu-ragu untuk menyatakan bahwa alam pada dirinya sendiri tidak memiliki hati nurani, atau sebagai sesuatu yang netral, sehingga sebetulnya orang tidak dapat berbicara mengenai segi baik dan segi buruk alam.


Saya pikir saya akan terus bertanya-tanya, apakah pada dirinya sendiri alam tidak memiliki kesadaran nurani sementara hukum-hukum dan kekuatannya yang bekerja di segenap jagat raya telah dan akan terus menghasilkan banyak kebaikan, keteraturan, pesona, keindahan dan kehidupan yang berkesadaran seperti dijumpai dalam tetumbuhan, hewan dan tentu saja manusia sebagai suatu bagian dari dunia hewan. Fauna dan flora yang tercipta dalam alam, apa bukan suatu bukti bahwa alam ini sendiri, nature in itself, memiliki suatu kehidupan yang berkesadaran, a conscious life? Saya belum mau menjawab pertanyaan yang sangat penting dan mengganggu ini sekarang.

Saya sekarang ini hanya mau mengingatkan bahwa janganlah kita cepat-cepat menghipotesiskan adanya suatu “allah” yang terpisah radikal dari alam, yang memiliki kesadaran diri bahkan kepribadian dan kekuatan kreatif, yang telah menciptakan alam di luar dirinya, yang telah menjadikan semua makhluk hidup dalam alam ini, dan yang tidak akan pernah menjadi sama dengan alam ini. Saya tentu maklum, orang yang beragama monoteistik sudah terbiasa dengan radikal memisahkan sang khalik dari sang makhluk. Tetapi, saya justru ingin mengintegrasikan kembali “oknum” yang disebut allah ini ke dalam alam, kekuatan dan hukum-hukumnya, sehingga allah=alam, kekuatannya dan hukum-hukumnya, sehingga sang khalik=sang makhluk. Nanti, dalam sebuah tulisan lainnya dalam serial tulisan ini, akan saya perlihatkan bahwa posisi yang saya sarankan ini bukan sekadar suatu sudut pandang mistikal dan animistik yang sudah berusia tua bahkan usang yang dikenakan kepada alam, tetapi juga suatu posisi yang memiliki suatu landasan filosofis dan saintis yang kuat.

Taruhlah, sementara ini, alam memang pada dirinya sendiri tidak memiliki hati nurani sehingga alam tidak dapat membedakan mana segi baik dan mana segi buruk dirinya. Tetapi dalam rangka manajemen pikiran, saya tidak dapat menghindari keharusan untuk memberi suatu value pada alam. “Value” adalah nilai yang kita berikan kepada sesuatu yang material: apakah yang material ini baik atau buruk, indah atau jelek, benar atau salah, pengasih atau kejam, pemelihara atau perusak, pembangun atau penghancur, membahagiakan atau menyedihkan, adil atau berat sebelah, ilahi atau satanik, dan sebagainya.

Sikap kita terhadap sesama manusia yang memiliki kesadaran nurani, akal-budi dan kepribadian pun ditentukan oleh value yang kita lekatkan pada sesama kita itu, bukan pada value yang diklaim sudah melekat pada diri sesama kita itu sejak dia dilahirkan. Kita semua tahu bahwa semua manusia sejak dilahirkan adalah makhluk mulia dan merdeka; mulia dan merdeka ini adalah value intrinsik. Tetapi kepada seorang pengemis, misalnya, kita tidak bersikap sejalan dengan sifat mulia dan merdeka yang ada pada diri sang pengemis sejak dia dilahirkan, melainkan sejalan dengan value apa yang kita lekatkan pada si pengemis yang kita sedang jumpai, misalnya value bahwa setiap pengemis adalah orang yang malas, suka menipu, jahat, buruk, keji, dan sebagainya, dan karena itu, bagi kita, setiap pengemis tidak perlu dikasihani.


Tujuan dari manajemen pikiran adalah supaya orang yang dengan benar me-manage pikirannya, orang itu akan dapat hidup dengan memberi value yang berarti, yang signifikan, kepada lingkungan kehidupannya dan kepada dirinya sendiri. Supaya dari dirinya, melalui manajemen pikiran yang benar, mengalir kebaikan, keindahan, kebenaran, kasih, pemeliharaan, pembangunan, kebahagiaan, keadilan dan keilahian kepada lingkungan keberadaannya dan kepada dirinya sendiri. Kalau manajemen pikiran dikaitkan dengan sikap seseorang kepada alam, kekuatan dan hukum-hukumnya, sikap ini mengharuskannya memberi value pada alam, kekuatan dan hukum-hukumnya. Dengan memberi value pada alam, orang, melalui manajemen pikiran, dapat menentukan apakah dia mau hidup serasi atau berlawanan dengan nilai-nilai atau values yang sudah dilekatkannya kepada alam, kekuatan dan hukum-hukumnya. Tanpa value yang kita tempelkan pada alam, manajemen pikiran yang dikaitkan dengan alam tidak dapat dijalankan.

Dalam seri kedua tulisan ini, sudah dianjurkan untuk orang me-manage pikirannya untuk serasi dengan alam, kekuatan dan hukum-hukumnya berdasarkan penerimaan dan pengakuan yang sadar bahwa alam, kekuatan dan hukum-hukumnya memiliki maksud-maksud yang baik, benar, membangun, menghidupkan, membahagiakan, rahmani dan rahimi. Nah, bagaimana manajemen pikiran harus dilakukan jika manajemen ini dikaitkan dengan sifat-sifat buruk, jahat, keji, menghancurkan, membunuh, membinasakan yang juga sama seringnya kita lihat ada pada alam, kekuatan dan hukum-hukumnya?

Pada kesempatan ini, saya sarankan bahwa untuk me-manage pikiran dengan benar sehubungan dengan sifat-sifat buruk alam, langkah penting yang harus dilakukan adalah orang harus melepaskan dirinya, pikiran dan hatinya, dari suatu pergumulan teologis psikologis yang dinamakan problem teodise.

Istilah “teodise” berasal dari dua kata Yunani: theos=allah; dan dikē=keadilan. Problem teodise adalah suatu problem teologis psikologis yang diderita seorang yang beragama (khususnya beragama monoteistik), yang ditimbulkan oleh suatu ajaran dan keyakinan bahwa Allah YME itu adalah allah yang maha kuasa, maha kasih, maha tahu, maha penolong, maha pelindung dan maha adil, khususnya bagi orang-orang yang saleh, taat beragama dan beribadah dan (relatif) tidak memiliki cacat akhlak. Dalam teodise dipercaya bahwa allah yang memiliki semua sifat ini akan senantiasa, dengan kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahakasihan dan kemahaadilan-Nya, melindungi, menjaga dan memelihara orang-orang saleh dan akan meluputkan mereka dari segala bencana.


Orang yang dengan kuat dan saleh memegang teodise umumnya akan mengalami suatu tekanan psikologis yang sangat kuat dan berat ketika dirinya sendiri atau orang-orang lain yang sangat dicintainya mengalami suatu musibah berat, musibah buatan manusia ataupun musibah bencana alam dahsyat. Tekanan psikologis yang berat dan kuat ini timbul karena orang itu tidak bisa menerima dalam hati dan pikirannya kalau allah yang dipercayanya memiliki sifat-sifat demikian ternyata telah membiarkan dirinya atau diri orang-orang yang sangat dikasihinya mengalami bencana dahsyat sampai membuatnya atau membuat mereka yang dicintainya menderita sangat berat (cacat fisik seumur hidup, misalnya) atau mati mengenaskan tanpa makna.

Keadaan tidak bisa menerima kenyataan bencana ini membuat batin orang itu sangat tertekan, pikirannya tersumbat, imannya kacau balau, jiwanya porak-poranda, nuraninya tidak bekerja, untuk waktu yang bisa sangat lama; dan, akhirnya, semua keadaan psikologis yang buruk ini membinasakannya juga ketika dirinya sendiri sudah lost, terhilang. Sebelum terhilang, orang ini akan terus bertanya dan memprotes kepada allah yang tidak kelihatan, namun dipercaya ada olehnya: Allah, allahku, mengapa engkau membiarkan penderitaan dan bencana ini terjadi padaku? Allah, allahku, mengapa engkau meninggalkan aku? Bukankah engkau mahakuasa? Bukankah sudah seharusnya engkau melindungi aku dan orang-orang yang kukasihi dengan kemahakuasaanmu? Bukankah engkau maha bisa? Mengapa engkau tidak menyingkirkan bencana ini jauh-jauh dari kami? Di mana keadilanmu? Buat apa selama ini kami taat beragama dan beribadah dan menaruh kepercayaan penuh kepadamu? Engkau allah pengkhianat! Engkau allah yang kejam! Dst …..

Nah, pikiran yang dikendalikan oleh kepercayaan dan keyakinan pada teodise akan membuat orang menjadi sangat menderita, hidup tidak tenteram dan tidak berbahagia, dan dapat membuatnya juga binasa, ketika orang itu mengalami kenyataan bahwa alam, kekuatannya serta hukum-hukumnya telah mendatangkan dan menimpakan keburukan, kekejian dan bencana terhadap dirinya dan terhadap orang-orang yang dikasihinya. Pikiran yang dikuasai teodise akan menimbulkan keadaan tidak sehat pada seluruh tubuh dan pada seluruh mayarakat ketika bencana dan musibah dahsyat menimpa.

Nah, supaya teodise tidak menghancurkan dan membinasakan Anda, manage-lah pikiran anda dengan membuang semua kepercayaan pada teodise ketika alam, kekuatan dan hukum-hukumnya mendatangkan penderitaan dan bencana terhadap diri anda.

Anda sebaiknya tahu, dalam kasus-kasus terjadinya bencana yang dahsyat, orang-orang yang tidak beragama, yang ateistik, ternyata bisa sangat tenang dalam menghadapi bencana ini, dan sanggup menerima semua akibatnya dengan tabah dan tegar, karena kesadaran dan pengetahuan mereka bahwa alam, kekuatan dan hukum-hukumnya juga bisa merusak, menghancurkan dan membinasakan! Me-manage pikiran dengan benar ketika orang sedang menghadapi bencana dan kematian yang ditimbulkan oleh daya alam yang merusak dan membinasakan adalah me-manage pikiran untuk serasi dengan kekuatan-kekuatan alam yang membinasakan, yang melenyapkan kehidupan, yang tidak bisa lagi dihindari oleh manusia entah secara naluriah atau pun secara kultural teknologis.

Tetapi, mungkin Anda masih mau bertanya, apakah tidak ada segi positif dari kepercayaan pada teodise? Nantilah kita gumuli pertanyaan ini.