Dia mengonfirmasi bahwa perubahan orientasi perhatiannya ini dilakukan karena dia memandang adalah sesuatu yang sia-sia jika terus mengevaluasi sesuatu yang tak punya masa depan, agama misalnya, dalam zaman sains dan teknologi modern. Dalam abad-abad mendatang, revolusi dalam dunia sains dan teknologi akan mendatangkan banyak perubahan besar dan mendasar dalam kehidupan manusia di planet Bumi ini. Fokus pada bidang sains dan ekonomi diyakininya akan memberi kontribusi lebih banyak pada masyarakat. Ekonomi yang bagus akan memungkinkan sains dikembangkan dan rakyat dididik untuk menjadi scientific minded. “Saya seterusnya akan berkonsentrasi pada dua bidang, yakni sains dan ekonomi. Sekarang saya sudah betul-betul tenang karena saya sudah tidak lagi menjadi seorang pendeta, dan saya memiliki kebebasan intelektual untuk berpikir dan menulis dan kebebasan mencari nafkah dan ikut mengembangkan ekonomi bangsa dan ekonomi sendiri”, ucapnya. Dua puluh tahun ke depan dipandangnya cukup untuk dia fokus pada dua bidang ini, dengan memberi suatu dampak signifikan pada kedua bidang ini bagi bangsa Indonesia.
per Maret 2010, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan
bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang
bahwa orang miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta orang
Baginya sebuah negara di dunia ini bisa menjadi besar dan ternama bukan karena agama-agama yang dianut rakyatnya. Tapi karena otak rakyaknya, otak yang diasah, otak yang mampu melahirkan sains, teknologi, dan kemampuan berpikir lintas zaman. “Itu yang harus kita perjuangkan untuk Indonesia. Otak masyarakat harus kita asah dan bina dengan melibatkan semua unsur penyelenggara pendidikan, baik di lingkungan pemerintah maupun di lingkungan non-pemerintah. Negara akan menjadi besar dan sukses, jika rakyatnya menguasai ilmu pengetahuan sebagai fokus sentralnya,” ungkapnya meyakinkan.
PATRON mencoba menggali lebih dalam apa yang akan dilakukan IR sebagai seorang bebas. Demikian petikan wawancaranya.
Sekarang Anda bukan seorang pendeta lagi. Apa yang akan Anda lakukan?
Saya mau fokus di hari-hari mendatang dalam hidup saya pada dua bidang, yaitu sains dan ekonomi.
Apa menariknya dua bidang ilmu yang Anda katakan itu?
Saya berharap kalau rakyat Indonesia makin banyak yang mampu berpikir ilmiah, menguasai banyak ilmu pengetahuan, ke depannya bangsa kita bisa tampil di dunia internasional dengan lebih terhormat dan berpengaruh. Bisa saja nanti sekian warganegara Indonesia muncul sebagai penemu sains atau teknologi baru. Karena itu, saya ingin ikut menyumbangkan kemampuan untuk menciptakan generasi muda Indonesia di masa depan yang mampu bersaing dan bertarung di dunia internasional, khususnya di bidang sains.
Bidang sains yang Anda maksud itu seperti apa?
Banyak. Misalnya, menjadi penemu atau perumus teori-teori ilmu pengetahuan yang baru dan penginvensi teknologi. Saya sudah hampir dua tahun ini mendalami sains melalui buku-buku yang saya baca.
Lalu bagaimana Anda mengimplementasikannya kepada masyarakat?
Melalui tulisan-tulisan saya. Saya sangat meminati sains fisika, astrofisika, kosmologi, astronomi, neurosains, neuroteologi, sains evolusi dan biologi sintetis, dan sudah memiliki sejumlah buku mutakhir yang berkaitan dengan sains. Dari bacaan-bacaan ini, saya menulis makalah-makalah, dan mencoba mengurai, mempresentasikan dan mendiskusikan topik-topik sains dengan teman-teman saya di berbagai kelompok kajian sains.
Di bidang ekonomi, apa yang Anda akan tawarkan?
Kondisi ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia hingga saat ini jelas terlihat masih belum baik. Saya mau berpartisipasi di dalam usaha-usaha intelektual untuk mengembangkan ekonomi bangsa dengan berusaha mengangkat derajat ekonomi sebagian bangsa kita, melalui diskusi-diskusi rasional tentang ekonomi domestik masyarakat kita sendiri maupun masyarakat global. Sumbangan yang akan saya berikan bersifat intelektual, bukan bersifat material, sebab sudah tak mungkin lagi dalam waktu dua puluh tahun ke depan saya akan berubah menjadi seorang konglomerat besar Indonesia yang mencintai rakyat. Ternyata itu semua tampak tidak sulit dilakukan. Buku-buku yang saya beli, saya baca, lalu saya pahami dengan cepat. Sebuah buku ekonomi mutakhir yang saya telah beli berjudul Capitalism 4.0: The Birth of a New Economy in the Aftermath of Crisis, karangan Anatole Kaletsky, dan diterbitkan pada 2010 oleh penerbit PublicAffairs. Pandangan-pandangan ekonomi mutakhir bisa saya kaji dan uji, lalu saya tawarkan kepada masyarakat melalui tulisan-tulisan saya. Bidang agama saya tinggalkan sama sekali, meskipun saya sendiri menghayati suatu spiritualitas yang beyond theistic religions, spiritualitas yang melampaui semua agama teistik
Perlu Anda ketahui, dalam bidang ekonomi, saya sekali lagi tidak memposisikan diri sebagai praktisi, tetapi sebagai pemikir. Tetapi saya sekarang ini bisa bebas berimajinasi tanpa akan dilabeli sesat oleh gereja: kalau saja Dewi Lakhsmi memang memberi saya sangat banyak kekayaan, dan atas bantuan sang Dewi dalam dua puluh tahun ke depan saya berubah menjadi seorang konglomerat Indonesia, saya tentu akan terjun juga ke dalam dunia praktis pemberdayaan ekonomi sebagian rakyat Indonesia. Pada saat sekarang ini, saya melihat bahwa yang bisa saya lakukan hanyalah bertukar pikiran, dengan mengikuti perkembangan di Barat, karena segala bidang ilmu pengetahuan berkembangnya di Barat.
Tadi Anda mengatakan akan meninggalkan kajian-kajian soal agama, sementara bidang ini sudah Anda dalami puluhan tahun. Maksud Anda sebenarnya apa?
Bagi saya sekarang, sekali lagi, agama adalah urusan privat antara manusia dengan Tuhannya, urusan privat yang dapat dilakukan dengan cara jungkir balik, tegak, tidur, berbalik arah, atau membungkuk, atau pun terlentang, dengan mata terbuka atau dengan mata tertutup. Terserah masing-masing. Saya tidak mau mencampuri lagi. Entah agama akan dipakai sebagai sebuah justifikasi kekerasan atau sebuah justifikasi perdamaian, saya tak mau perduli lagi. Saya hanya mau mengatakan, saya menghormati agama Anda. Silahkan beragama seperti yang anda yakini dan hayati. Itulah yang seharusnya terjadi dalam dunia modern: agama menjadi urusan sangat privat, tidak dibawa masuk ke ranah sosial kebudayaan atau ke ranah politik. Sekali lagi agama itu urusan privat. Saya menghormati semua orang yang beragama dan juga orang yang tidak beragama.
Tetapi kan tidak semua orang bisa memahami itu. Agama bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia merupakan sesuatu yang sakral. Sedikit saja ada perbedaan, bisa berkelahi sampai bunuh-bunuhan. Bagaimanapun juga Anda kan seorang teolog yang berpikiran liberal. Kenapa Anda justru meninggalkan kajian agama? Bukankah pemikiran-pemikiran Anda mengenai toleransi, pluralisme dan multikulturalisme sangat dibutuhkan masyarakat?
Oh, kalau tentang toleransi, pluralisme dan multikulturalisme sudah banyak orang yang bisa memberi pandangan, bahkan Pak Presiden SBY juga pasti memiliki pandangan-pandangan agung tentang semua itu. Minta saja beliau berbicara tentang agama-agama dalam koridor penegakan HAM, demokrasi dan norma-norma hukum formal. Saya sudah lama menekuni agama, selama tiga dekade, dan sekaranglah saatnya saya mundur dari dunia agama. Kalau ada kasus-kasus kriminal yang dilakukan atas nama agama, itu bukan urusan saya. Itu urusan negara dan aparat keamanan untuk membereskannya. Negara kita dibangun berdasarkan the Rule of Law, berdasarkan Norma Hukum formal fundamental, bukan norma hukum rimba. Jadi sekali lagi saya sudah mengambil jarak dari agama dan membiarkan setiap orang memilih sendiri cara beragamanya sebagai pilihan pribadi.
Nampaknya Anda begitu kecewa dengan agama?
Oh, sama sekali tidak. Bukan kecewa. Tidak ada gunanya mencampuri agama orang lain. Itu saja kesimpulan saya sekarang. Selain itu, kita tentu semua sudah tahu, dalam zaman sains dan teknologi modern yang terus berrevolusi, agama-agama tradisonal akan semakin tidak signifikan, tersudut dan kalah, kendatipun agama-agama ini bisa tampil semakin garang, totalitarian dan agresif.
Sekarang ini ada sebagian orang yang memilih tidak beragama karena agama dianggap sebagai sumber konflik. Menurut Anda?
Anda sudah menyatakan hal yang benar, bahwa agama memang merupakan sebuah sumber konflik. Karena alasan itulah, saya juga sudah meninggalkan kajian agama. Pada sisi lain, hingga saat ini saya sendiri masih berdoa sebagai pribadi. Cuma doa saya adalah doa kontemplatif meditatif. Tak mungkin saya meninggalkan Yesus, sebab sudah selama dua dekade saya menerjunkan diri ke dalam bidang kajian Yesus historis. Lima tahun studi di luar negeri, di Eropa, saya lakukan hanya untuk mencari Yesus sejarah. Cuma perspektif saya tentang Yesus berbeda diametral dari perspektif kebanyakan orang Kristen. Kalau bagi kekristenan, kematian Yesus adalah sesuatu yang terpenting, maka bagi saya justru kehidupan Yesus itulah yang terpenting. Terserah penuh pada orang Kristen kalau mereka masih mau menghayati penebusan dosa lewat kematian Yesus. Tetapi hormatilah juga keyakinan saya pribadi, yang saya bangun di atas bukti-bukti ilmiah, bahwa kehidupan Yesus itulah yang dapat berdampak signifikan pada perubahan moralitas seorang manusia. Kehidupan setiap manusia jelas jauh lebih penting dari kematiannya.
Berdoa kepada siapa Anda?
Kepada Yesus pertama-tama. Cuma, sekali lagi, doa saya adalah doa kontemplatif meditatif.
Anda masih mempercayai Yesus?
Saya ulangi, bagi saya, dilihat dari kehidupannya, Yesus tetap hidup sampai sekarang. Itu saja. Anda juga sekarang bisa mengalami suasana dihadiri orang-orang besar zaman lampau kendatipun mereka semua sudah meninggal, misalnya ketika Mahatma Gandhi masih anda yakini membimbing Anda, atau ketika Martin Luther King masih mengilhami Anda, dan, khususnya, ketika Yesus terus mengilhami saya. Kalau Dewi Lakhsmi Anda yakini hidup, maka konsentrasi meditatif pada sang Dewi akan berdampak signifikan pada kehidupan Anda sekarang, seperti diklaim terjadi pada kehidupan setiap orang Hindu. Saya tidak pernah mengatakan good bye pada Yesus. Saya punya dua blog di Internet yang saya peruntukkan untuk menampilkan sosok Yesus. Anda tak boleh lupa, keahlian saya adalah kajian tentang Yesus sejarah. Fokus saya pada Yesus berada dalam dua ranah, yakni ranah kajian sejarah dan ranah kehidupan spiritual.
Ternyata Anda masih beriman ya?
Ya, saya masih beriman, dalam koridor post-religious.
Apakah sekarang Anda masih hadir di kebaktian gereja?
Tidak. Saya hanya berdoa kontemplatif saja di rumah sendiri. Kalau saya hadir, saya selalu tak memperoleh apapun dari khotbah-khotbah yang disampaikan para pendeta gereja. Khotbah-khotbah mereka semuanya klise dan tak memuaskan intelek dan kalbu saya. Kalau intelek saya tak puas, maka demikian juga hati saya, juga sebaliknya. Akal dan hati berjalan harmonis dalam diri saya. Akal dan hati berproses di organ otak yang sama.
Cara berdoa kontemplatif?
Caranya sederhana, ya dengan menjadikan figur Yesus (dan juga figur-figur lain) suatu titik konsentrasi ketika saya berkontemplasi meditatif. Sifat-sifat Yesus yang saya sukai, saya beri simbol atau tanda atau gambar tertentu dalam bayangan saya. Misalnya, dia berbela rasa, bisa ikut merasakan penderitaan orang lain. Sifat bela rasa ini saya beri simbol sebuah hati merah. Simbol ini saya bayangkan ketika berdoa. Dan sambil membayangkan dan mengarahkan pikiran ke titik itu terus-menerus, dalam pikiran saya muncul terus kata-kata cinta kasih, cinta kasih dan cinta kasih.
Sugesti cinta ini masuk ke dalam relung-relung organ otak saya, dan terpeta di situ. Dengan sengaja saya memasukkan ke dalam neuron-neuron otak nilai-nilai kebajikan universal, seperti kebajikan, cinta kasih, kesabaran, rasionalitas, keteguhan, kesehatan, bela rasa, dan lain sebagainya. Dengan latihan meditasi sekian lama itulah sekarang saya memandang tidak ada gunanya mendiskusikan agama orang lain. Saya sekarang dapat mendorong orang untuk menerjunkan diri ke dalam dimensi spiritualitas, bukan dimensi religiositas, jika mereka mendesak saya untuk menunjukkan kepada mereka suatu jalan menuju pencerahan dan cinta.
Meditasi ini membawa saya kepada suatu kesadaran yang makin diperdalam untuk tidak lagi membela diri terhadap orang-orang yang terus menghakimi dan berlaku keras terhadap saya. Anda tahu, saya mengalah ke depannya karena saya sedang menemukan sebuah jalan yang lebih agung, menuju pencerahan dan cinta. Saya ingin menjadi seperti Siddharta Gautama.
Dengan Anda tak lagi berdiskusi tentang agama, katanya Anda mulai ditinggalkan pengikut-pengikut Anda?
Ah, jangan suka percaya pada kata orang. Saya ingin tegaskan, dari awal masuk dan kerja di gereja dulu, saya tidak punya dan tidak mau membangun pengikut apapun. Saya kini hanya membangun sebuah komunitas, dan semua anggota komunitas ini adalah teman terhadap sesamanya. Tidak ada guru, tak ada murid; tak ada pemimpin dan tak ada orang yang dipimpin; tak ada yang dituakan dan tak ada pengikut. Komunitas ini setiap dua bulan sekali sekarang bertemu untuk membahas sebuah buku bermutu. Komunitasnya kami beri nama Komunitas Progresif Indonesia, disingkat KIFA. Komunitas ini inklusif, pluralis, intelektual dan non-sektarian.
Buku apa yang sedang Anda persiapkan sekarang?
Sekarang saya sedang menyiapkan sebuah buku yang tidak ada hubungannya dengan agama, tetapi menyangkut dokumen-dokumen tua dari umat-umat Kristen perdana di Eropa. Buku ini akan terbit dan tidak ada hubungannya dengan kekristenan, tapi akan berguna bagi orang yang ingin mengetahui lebih jauh tentang betapa majemuknya dunia keagamaan kuno pada masa abad-abad pertama di Eropa. Buku ini pasti tidak akan digunakan untuk ibadah dan sebagainya. Isi buku ini enam dokumen besar di luar Perjanjian Baru, yang pernah dipakai di dalam komunitas-komunitas Kristen perdana yang tidak ortodoks dulu. Buku saya ini tidak ada hubungannya dengan gereja-gereja sekarang. Buku ini hanya berisi atau relevan untuk kajian-kajian sejarah kekristenan saja.
Jadi, Anda sudah tidak mau lagi mengkritik soal-soal agama?
Saya tidak mau lagi mengkritik semua agama, termasuk agama Kristen. Fokus saya sekarang adalah dunia sains dan dunia ekonomi, seperti sudah saya nyatakan di atas.
Tapi Anda dulu begitu bersemangat bahkan sangat keras mengkritik agama dan gereja terutama pada doktrinnya yang Anda anggap tidak relevan. Kok Anda bisa berubah cepat seperti itu. Ada apa dengan Anda?
Semangat itu sekarang sudah hilang dari diri saya, dan saya telah ganti dengan ketenangan berpikir dan ketenangan bermeditasi. Tidak ada gunanya berbicara kepada orang-orang yang sudah terpaku mati pada agamanya sendiri, sehingga pemikiran agama dalam perspektif lain tidak bisa mereka lihat. Sekali lagi, agama-agama tradisional sekarang ini sedang menuju ke kebinasaan mereka, kendatipun sekarang muncul dengan garang dan agresif. Saya tak merasa terbeban lagi untuk mengingatkan kaum beragama akan bahaya kemandulan agama-agama tradisional. Biar tuhan masing-masing agama yang bekerja keras, bukan saya.
Berarti Anda gagal dan kalah memperjuangkan pemikiran Anda?
Bukan. Tidak ada kalah atau menang di sini. Saya tidak sedang berperang. Saya tidak mau lagi mengurusi keyakinan keagamaan orang lain. Itu saja. Pemikiran saya tak pernah terhenti, dan kini sedang masuk menjelajah dunia sains dan dunia ekonomi. Anda pantau saja terus. Sekarang ini saya sedang menerjemahkan sebuah buku klasik ekonomi yang sangat penting, karangan F. A. Hayek, terbitan tahun 1944, berjudul The Road to Serfdom, yang akan diterbitkan oleh Freedom Institute dengan judul lain pemberian saya, yakni Ekonomi Liberal Versus Ekonomi Sosialis. Saya sangat serius dengan bidang ekonomi.
Intinya, Anda saat ini sudah menarik diri dari diskusi atau perdebatan tentang agama?
Ya. Bagi saya sebuah negara di dunia bisa menjadi besar dan ternama bukan karena agama. Tapi karena otak rakyatnya terasah, sehingga mampu berpikir saintifik dan mampu melahirkan sains, teknologi, dan kemampuan berpikir lintas zaman. Itu yang harus kita perjuangkan untuk Indonesia. Otak masyarakat harus kita bina dengan melibatkan semua unsur pelaksana pendidikan, di lingkungan pemerintah maupun di lingkungan non-pemerintah. Sebuah negara akan menjadi besar dan berpengaruh kuat di dunia internasional, jika rakyatnya memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagai fokus sentral, dan makmur ekonominya. Karena itulah, sains dan ekonomi menjadi fokus kehidupan saya sekarang dan seterusnya.
Jadi, bukan karena agama sebuah negara bisa jadi besar dan terhormat. Begitu?
Agama boleh-boleh saja, tetapi hanya sebatas pada wilayah privat. Saya kini menempuh jalur spiritualitas, bukan jalur religiositas. Thanks atas waktu anda mewawancarai saya. Semoga Majalah Patron bisa langgeng.
(*) Wawancara ini telah terbit di Majalah Patron edisi 1, April 2011, hlm. 18-21.